Jumlah guru besar di Universitas Brawijaya makin bertambah banyak. Seiring dengan dikukuhkannya 3 guru besar hari Selasa (23/6), maka jumlahnya menjadi 175. Guru besar yang dikukuhkan tersebut adalah Prof.Dra.Francien Herlen Tomasowa (FP), Prof.Drs.Henny Pramoedya (FMIPA), dan Prof.Dr.Koesno Hadi (FH).
Francien, yang dikukuhkan sebagai profesor bidang ilmu linguistik terapan menjadi menjadi guru besar ke-173 di lingkungan UB. Dalam orasinya di gedung Widyaloka ia mengetengahkan judul "Pembelajaran Bahasa Inggris di Program Studi Non-Bahasa Inggris Perguruan Tinggi: Suatu Pendekatan Fungsional Sistemik". Francien yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Program Bahasa dan Sastra UB mengkritisi tentang penerapan kurikulum Bahasa Inggris yang masih kurang intensif di program-program non-bahasa. Menurutnya, untuk program-program non-bahasa, mata kuliah bahasa inggris harus diberikan oleh orang yang memang ahli pada program tersebut. Jadi, syaratnya tidak cukup hanya karena dosennya pandai berbahasa Inggris.
Kajian lain disampaikan oleh Henny yang menyampaikan orasi ilmiahnya dengan judul "Kontribusi Statistika dalam Mendukung Pengendalian Hama Tanaman". Ia dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang ilmu statistika menjadi. Dalam analisisnya ia menyampaikan bahwa secara umum statistika dapat membantu menyelesaikan permasalahan pada berbagai ilmu pengetahuan, tak terkecuali pengendalian hama tanaman yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan dengan cepat. Selain itu, matematika yang saat ini kurang diminati oleh masyarakat karena tidak langsung pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi secara tidak sadar masyarakat telah menggunakan statistika walaupun hanya pada taraf yang mendasar.
Koesno yang dikukuhkan sebagai guru besar ke-175 menyampaikan judul orasi ilmiah "Kebijakan Kriminal dalam Sistem Peradilan Pidana yang Berorientasi pada Kepentingan Terbaik bagi Anak (The Best Interest of Child)". Ia mengkritisi keberadaan proses peradilan pidana pada anak. Menurutnya, penyelesaian persoalan anak yang bermasalah dengan hukum, ternyata proses peradilan dalam sistem peradilan pidana memiliki dampak negatif dalam bentuk adanya stigmatisasi, dehumanisasi, dan viktimisasi yang kurang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Untuk itu, seharusnya proses peradilan pidana digelar hanyalah sebagai upaya terakhir (ultimum remidium) apabila cara-cara lain tidak dapat dilakukan dan apabila dimungkinkan dijatuhi vonis maka seharusnya dalam bentuk pembinaan, dengan orientasi demi kepentingan terbaik bagi anak (the best interes of child) atau untuk melakukan tindakan terbaik bagi anak (the best treatment of child)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar